Di antara emperan pelataran malam.
Di tepi trotoar kehidupan.
Sengitnya nyala di atas kepala.
Dan beku dipagut kabut.
Zikir keperihan menggelepar dalam gelaran malam kesepian.
Dua tangan terangkat dalam ketiadaan, mencoba mendaki mahligai langit.
Menyingkap satu persatu tirai sunyi.
Dengan doanya yang luruh.
Jatuh sebelum keluh.
Malam beranjak menjauh,
menitiki sudut rumah kardus.
Dengan lamun halimun dan gelap berderap.
Menggeragap nista nasib yang dicibir ironi,
terus dimaki oleh basa basi.
Gedung tinggi serta sebiji nasi.
Hingga pagi mulai lagi dari titik nadir.
Pada penat peluh yang menggurat tubuh,
dan tenggorok yang tercekat oleh olok.
Persetan dengan semua rasa malu!!
Karena kita telanjang dengan kostum kulit legam terpanggang.
Berseteru dengan sepasukan serdadu nasib.
Menderas najis di kening tertepis.
Sebelum lebur bercampur airmata yang kabur.
Capingku berlubang, seperti menerawang pada mata takdir.
Meneropong suratan yang dilambung ketinggian.
Di antara derak keperihan nyali.
Menyelamatkan sedikit harga diri dan napas hidup hari ini.
Emasku adalah bergunung buangan di tepi jalan.
Yang ku dulang sebagai penukar uang untuk pulang.
Pada rumah kardus. . .
Helai pintu yang tiada daunnya,
di dinding-dinding koran yang digerayangi kesunyian.
Sobek ditebas pedang sepi,
ku sembunyikan sebentuk kehidupan.
Dari serangan badai gerimis, erangan kelaparan dan lenguh tangisan.
Malam menjauh dan hening.
Di pinggiran trotoar terlantar.
Di emperan jalanan sudut malam.
Esok adalah hari yang tak bisa menghindar,
sinar-sinar kasar berpendar;
menabung harapan berwarna pudar.
April 2009
image taken from:
ramadhan.republika.co.id
mitradualipat.wordpress.com
.