DESEMBER, DI SEBUAH KOTA

Kota selalu menjanjikan mimpi manis nan indah. Dengan segala gemerlap harapan, orang-orang berjibaku mengadu nasib, meretas takdir mencari peruntungan. Berusaha membelokkan arah kompas kehidupan menuju cerah masa depan.

Hal itu pula yang membuat perselisihan kita beberapa bulan lalu. Ketika ku tahu alternatif mencari nafkah di kota mulai menggoda tanggung jawabmu sebagai kepala keluarga.

“Biar aku saja dulu yang pergi, nanti kalau sudah ada usaha yang layak nanti kamu nyusul. Kasian Ita, gimana sekolahnya?”

Ya, aku tahu ini sulit, rasanya tak mungkin ku bawa serta putri kita yang masih kelas 2 SD ke kota, tanpa tujuan pasti.

“Tapi, mas. .” Sergahku mencoba mencari solusi. “Biar aku ikut, biar Ita sama ibuku saja mas. Aku mau bantu kamu, aku gak mau tinggal.” Aku bersikeras. Saat mengatakannya aku teringat Euis, tetanggaku yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya setelah menjadi perantauan di kota. Atau Marno yang tak pulang-pulang lantaran kepincut penjaja cinta pinggiran kota. Ah. . . Sentimentil perempuan. Dan itu pula yang akhirnya mendamparkan kita di tengah kota ini.

2 bulan lalu saat pertama tiba kita sempat tidur di emperan sebuah toko, karena belum dapat rumah kontrakan untuk tinggal. Sedikit uang itu mati-matian disimpan dalam celah kutang dan kantong rahasia di celana dalam.

“Jangan sampai kita kecopetan, nanti gak ada modal lagi.” katamu mewanti-wanti.

Sampai beberapa hari kemudian kita mendapatkan sebuah rumah bedak, kecil, dengan sewa 350 ribu/bulan. Lalu sebidang tanah kosong di tepi jalan dengan sewa 150 ribu, tapi kita harus membuat warung kita sendiri. Pak Haji yang murah hati itu bersedia menyewakan tanahnya yang sebenarnya juga bukan tanahnya.

Hari-hari berikutnya adalah perjuangan yang lain lagi, derita yang lain lagi. Saat ku tahu sedikit rupiah yang kita bawa dari kampung hasil menggadaikan sawah kian menipis setelah pembuatan warung sederhana yang ternyata menelan banyak biaya.

Saban sore orang-orang memenuhi jalanan. Turun berduyun-duyun dari gedung kantor berlantai puluhan itu. Sementara kernet bis teriak-teriak mempromosikan trayek siang terakhir. Kita juga bergabung bersama mereka, menyesaki jalanan yang panas dan berdebu, bersama puluhan, bahkan mungkin ratusan gerobak kaki lima yang berjubel pada bedeng-bedeng jalan dan hamparan trotoar. Masih mengais rupiah, mengejar harapan mencari layak penghidupan.

Juga pengemis pincang dan janda tua dengan yatim di gendongannya berebutan berlarian menyongsong kendaraan di tengah jalan, kala lampu berubah merah. Dan bocah-bocah pengojek payung itu menatap pada langit, matahari masih bersinar sengit.

Aku menyeka peluh yang merembes pada pori-pori dahi. Aku ingat, ini Desember, musim hujan baru saja datang. Tapi kita semua juga tahu, di kota pun hujan tak pernah ramah, sekali saja ia turun, jalanan kuyup terendam banjir. Dan hawa panas sejak tadi pagi membuatku dilanda cemas tak henti-henti.

“Lastri,” Panggil suamiku memecah gelembung lamunanku. “Kamu ini, ngelamunin apa to? Dari tadi mukanya kaya mikir apa gitu. .” kata mas Anto lagi.

Aku menghela nafas, menatap langit yang mulai dihinggapi mendung, matahari sudah beranjak permisi.

“Gak papa mas, kayaknya mau hujan.”

Lalu kita tenggelam dalam hiruk pikuk sore itu, setelah dagangan siap tiba-tiba hujan menyergap. Ku lihat bocah-bocah pengojek payung itu berlompatan girang dan berlarian menuju orang-orang yang turun dari gedung kantor, taksi dan angkot. Mengharap rupiah setibanya di seberang jalan.

Malam merayap lebih cepat, gelap mulai menyergap dan dingin menusuk tulang. Kuah panas dan nikmat dari bakso dan mi ayam kita tak menarik minat orang banyak. Sampai nyaris isya menjelang, hanya dua mangkok mi saja yang sempat ku hidangkan pada dua remaja yang kebetulan berteduh saat hujan senja tadi.


Sebenarnya agak heran pas mau menyertakan gambar di postingan cerita kali ini. Akun blog saya tak mau lagi unggah foto, eror gitu tulisannya. Sudah dicoba di UC dan opmin, sama aja gak bisa. Kira-kira kenapa yak??

16 thoughts on “DESEMBER, DI SEBUAH KOTA

  1. Mengesankan sekali kisah nya bun, org yg sring menelan kehidupan getir serasa mendpt kan teman sepenanggungan, he he lebey uy..
    Btw, dri kemaren emg kadang bisa kdng enga bun, mwb ny emg sring eror belakangan ini:-(

    Like

  2. Subhanallah… begitulah khidupan ba'… tragedi bg mrk yg sdang mnjalani, dan cerita jk telah berlalu!!! tp semua memang ada hikmahnya.

    Like

  3. Assalamu'alaikum wr wb

    kunjungan silaturrahim bunda

    ijin bca dlu kisah'a bun

    mv ntan ru brkunjung lge

    salam santun

    Like

  4. Isi absen dlu kang πŸ˜€

    Mampir, Ada new post
    Oupeng 7.6 Gratis Telkomsel download Big File support Masteng Desember 2013 for s60v3v5
    =======================
    Game Stone Of Life.apk RPG Game Work on samsung galaxy y and All Android

    Like

  5. Kok ceritanya putus begitu aka mbak…??
    Tnpa ada kata ''sekian'' atau ''bersambung''….

    Oiya,, ini ceritanya pas banget dg keadaanku saat ini,, baru balik ke kota, ketika turun dari bus langsung di sambut hujan…. Hadeeewwww…. Dinginnnn…..

    Like

  6. pas baca dibait pertama kirain kisahnya bunda.. πŸ™‚
    tapi stelah baca nama lastri, ternyata bukan. He
    tapi keren bund..

    Like

Leave a comment