15 TAHUN JADI KORBAN SANDERA KREDIT BURUKNYA KWALITAS PERUMAHAN RAKYAT

Saya bertempat tinggal di sebuah kecamatan yang memiliki beberapa desa yang kemajuannya berkembang pesat. Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar provinsi Kal Sel tepatnya.

Dekat dengan kota Banjarmasin membuat wilayah kami cukup ramai dan maju walau mayoritas masyarakat desa adalah petani padi tradisional. Di Desa Kayu Bawang, Malintang Baru dan sekitarnya, geliat kemajuan itu sudah terasa dengan dibangunnya sebuah jalan tol jalur lintas provinsi yang membelah desa membuat akses kendaraan dan mobilitas penduduk menjadi lebih mudah.

Selain sarana prasarana jalan, pembangunan komplek-komplek perumahan rakyat juga menjamur di desa kami. Perumahan-perumahan tipe sederhana itu menjadi mimpi manis bagi rakyat jelata yang mendambakan tempat tinggal layak, memadai, murah dan cepat huni. Jika dibandingkan menyewa atau mengontrak rumah (yang biaya bulanannya tidak beda jauh) maka kredit perumahan terasa lebih dapat memberi harapan ke depan untuk memiliki hunian idaman.

Uang muka pun bisa dibilang cukup terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah, dengan rupiah 5-20 juta dan cicilan bulanan 5 ratus ribu-1 juta selama 15 tahun kita sudah dapat memiliki rumah siap huni, malah dari iklannya di tepi jalan ada yang tanpa uang muka.

Kedengarannya mudah dan cukup menggugah, impian memiliki rumah sendiri bisa terrealisasi. Tapi ternyata, harga murah seringkali sebanding dengan kwalitas yang rendah. Perumahan rakyat ternyata menyimpan sejuta masalah. Mulai dari kayu pondasi bangunan rumah yang tidak kuat, bergoyang jika diterpa angin (karena dibangun di areal persawahan, inipun sebenarnya aneh, siapa yang memberi izin pembangunan di lahan produktif? Siapa yang akan bertanggung jawab akan dampaknya nanti?). Baru sebulan dihuni, sudah banyak ubin yang pecah dan retaknya dinding beton yang kebanyakan hanya plester semen tanpa batu bata.

Juga sengketa lahan kavling berlapis, surat menyurat yang bermasalah dengan pihak bank dan masih banyak lagi. Masalah semacam ini selalu menyertai dan seakan jadi momok menakutkan bagi pembeli perumahan. Tapi, kita orang kecil memang tak punya banyak pilihan, maka perumahan dengan segala kekurangannya tetap jadi idaman.

Bukan rahasia lagi, jika sebuah perumahan belum memadai, masih ada banyak hal yang harus diperbaiki dengan merogoh kocek sendiri. Yang paling sering adalah penambahan area dapur dan kamar mandi. Dan hampir bisa dipastikan 15 tahun kemudian saat kreditnya lunas, rumahnya diambang kehancuran dan perlu renovasi segera.

Seburuk itukah?

15 tahun itu bukan waktu sebentar, dan itu menandaskan uang yang tidak sedikit. Dari beberapa pengakuan teman-teman yang mengambil perumahan dan para tukang, jumlah harga kredit yang harus dibayarkan rasanya tidak sebanding dengan rumah yang didapatkan.

Mengingat daerah kami di area persawahan yang cukup rawan angin kencang, dan kayu-kayu bahan apkir borongan untuk pondasi rumah yang digunakan. Membuat saya berpikir, bahwa kita selaku konsumen tingkat bawah selalu diakali oleh permainan produsen yang menganut faham modal sekecil-kecilnya dan untung sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan hak-hak konsumen. Hmm. . . Sistem ekonomi kapitalis.

Tak hanya sampai di situ, maraknya pembangunan perumahan di area persawahan ini juga telah memberi dampak buruk pada hasil pertanian lokal. Tahun ini lebih dari 70% sawah gagal panen karena hama, tikus, sampah/limbah rumah tangga dan sanitasi air yang memburuk dan rusaknya ekosistem. Saya heran, kok bisa-bisanya lahan produktif dialih fungsi jadi perumahan yang tumbuh tak terkendali. Dari mana ijinnya? Siapa penanggung jawabnya?

perumahan1.jpg

perumahan2.jpg

perumahan3.jpg

Lihatlah foto-foto di atas, padi yang menguning dinodai oleh putih biru perumahan yang berjejer membelah area persawahan. Swasembada pangan di daerah pertanian, kini tak akan terrealisasi di wilayah kami. Gambut Kindai Limpuar tinggal kenangan.



Kindai Limpuar= nama pasar di Gambut yang artinya “Lumbung Penuh/sesak/jebol” (karena dahulu daerah Gambut terkenal sebagai penghasil beras Siam Unus terbaik di Kalimantan Selatan)

9 thoughts on “15 TAHUN JADI KORBAN SANDERA KREDIT BURUKNYA KWALITAS PERUMAHAN RAKYAT

  1. Assalamualaikum…

    Jadi ingat perkataan seorang sahabat yg ngambil kredit rumah 10 th. Dia berkata "Lihatlah,10 th ke depan didahiku ada tanda kredit blm lunas!". Artinya selama 10 th ia akan dibebani hutang krn rumah idaman. Pengennya cuma yg 5 th, tp itu artinya ia & keluarganya tak bisa lg makan.

    Like

  2. ya begitulah..
    Dunia semakin parah..
    Semoga saja manusia cepat sadar. 😀

    Kunjungan malam, sambil ngantuk-ngantuk om.. 🙂

    Like

  3. Ya mau gmn lagi, papan merupakan salah satu kebutuhan pokok yg harus dipenuhi meski konsekuensinya adalah tak bs lagi makan nasi dr bumi pertiwi.

    Like

  4. Wah…Sebagai anak petani saya…
    Kurang setuju nih kalau pembagunan diatas persawahan begini..
    Harus dipertanyakan juga IMBnya [izin mendirikan bangunan]

    🙂
    tapi lebih kasian juga konsumennya bila sampai 15 tahun.

    🙂

    Like

  5. wah… ini akibat sistem yg kurang kreatif ba' dan tidak konsisten.

    Like

  6. kpr mahal, ane ga kuat ah harga segitu, hahah 😀
    Cari perumahan yg bonafit dikit mbak, mungkin lbh mahal tp sip, ane sering kirim bata ke perumahan yg ga ecek2 kok, materialnya minta yg paling bagus, ane kasih harga bata yg mahal aja diterima yg penting bagus. kalo perumahan yg disawah2 pinggiran itu beda lg standartnya mbak 😀

    Like

  7. Skrg yang adalah uang, uang, uang. Krn stelah membangun dan untung, y sudah. Itlah permainan properti yg ndak mutu

    Like

Leave a comment