KITA MASIH HARUS TURUN KE JALANAN

Kita masih harus turun ke jalanan.

Menyalakan pelita harap di tengah deru jalan raya. Menadahkan tangan pada sebarisan kendaraan yang lalu lalang, melesakkan panah mimpi ke tengah jantung kota ini.

Kita masih harus turun ke jalanan.

Menepiskan gerimis sekalipun ia menjelma badai. Menerobos hujan, walau ia nanar membekukan sejuta kesempatan. Di pagari garis suratan yang membiru malamkan segala kehidupan pinggiran. Mata-mata yang nyalang tak lagi peduli malam atau pun siang.

Kita masih saja berhimpitan dalam gerbong-gerbong kelas ekonomi. Atau berjejeran menyenandungkan serenade anak jalanan di sepanjang trotoar kehidupan. Dan mungkin masih mengiris sebentuk tangis di bawah jembatan yang ditinggalkan.

Kita masih harus turun ke jalanan.

Mengkiblatkan wajah pada ruang-ruang pengap di sudut peradaban. Mengerotiskan tarian-tarian permisif atas segala kesopanan, dari bar ke bar. Sebagian juga kerap berbuka paha menjanjikan keriuhan surga.

Sementara seniman-seniman penabuh genderang kaleng masih merapalkan nyanyian kemarin. Di setiap perempatan lampu merah, mata-mata tak berdosa yang mulutnya beraroma lem kimia, berlarian mengitari jalan menyongsong mobil sedan seorang anggota dewan.

Kita masih harus turun ke jalanan.

Menggelar baliho, pamflet dan ratusan selebaran. Sibuk mengkritisi penguasa yang telah kita pilih tempo hari.

Menghujat kemelaratan yang masih setia bergelayut manja di leher kita. Atau sekadar berebut bantuan beberapa liter beras untuk makan.

Kita masih memetakan arah perjalanan panjang ini, masing-masing bersaing dalam kiprah tak kenal kompromi. Kau bisa saja leluasa menjual anak-anakmu, atau menggadaikan harga dirimu. Pun mungkin aku bisa saja sejenak menjelma kanibal pemangsa sesama.

Kita masih harus turun ke jalanan.

Menyalakan pelita harap di tengah deru jalan raya. Mensiasati nasib yang seakan enggan memihak kemiskinan. Masih bergerilya di belantara kota, yang menyamarkan berjuta wajah kita. Masih di bawah lampu jalanan, memberhalakan hasrat para bidadari panggilan.

Tak mengapa jika mesti terlena pada sebotol air mineral di oplos alkohol dan cairan pembasmi nyamuk, atau mau teler dengan racikan obat batuk. Ini malam adalah sudah serba terserah, semua sah !! Atau kau mau menangis ? Seperti seorang remaja di ujung gang sana yang barusan diapeli pacarnya, dan kehilangan miliknya yang paling berharga.

Atau dia, seperti pria separuh wanita yang kerap menyibukkan diri minta kesetaraan dan penerimaan yang selayaknya manusia.

Kita masih harus turun ke jalanan. . .

Menyaksikan anak-anak bumi ini yang tengah membuat sejarah mereka sendiri. Yang tak tersentuh tangan nyaman kelayakan hidup. Yang tak terjamah tangan bijaksana pendidikan. Mereka telah melampaui batas mampu kepapaan yang tak punya apa-apa. Tapi jalanan telah begitu baik pada mereka. Di sana bisa hidup, sekolah, makan, menjalin harapan, berteman, menjelma preman, di jalanan kita bebas berkembang biak, membuat anak dan beranak.

Dan sesekali lampu merah berwarna serupa darah.



Note:
Puisi satire ini tertanggal 28 Oktober 2013 tahun lalu, saya posting ulang karena terasa sangat relevan dan pas timingnya di saat-saat seperti ini.

30 thoughts on “KITA MASIH HARUS TURUN KE JALANAN

  1. Para pemimpin dan politisi kita banyak yang TIDAK LAGI PUNYA NURANI, hingga akhirnya anggaran yang semestinya menjadi hak masyarakat sering digunakan sebagai OBJEK JARAHAN. Nurani mereka sudah hitam pekat dan tak lagi mampu membaca realitas KEMISKINAN…!

    Tetapi harus kita sadari bahwa hakikat kemiskinan sebenarnya merupakan ladang amal untuk kita. Sebab kemiskinan ini memberi pesan, sebagaimana yang ditekankan dalam agama yang kita anut, agar kita berzakat, bersadakah, dan berinfak.

    santun pagiku Bunda,

    Like

  2. Maaf sist kunjungan telat,
    kita harus turun kejalanan 🙂
    menyapu-nyapu sudut jalan ya berdebu 😀
    keren sist puisinya

    Like

  3. kita mang harus benar2 terjun menapaki jalanan.( memangnya bisa terbang atau hantu yg gak menyentuh tanah ?)
    Ya meski punya banyak mobil,pake hells buatan luar negri,kita mesti turun ke jalan..

    Like

  4. Perjuangan mereka bisa menumbangkan kekuatan paling besar sekalipun… Indonesia 1998, revolusi prancis, dan yg sedang hangat adalah di daratan timur tengah sana.

    Like

  5. Ada yang kaya, ada yang miskin, ada anak jalanan, ada ini, ada itu, semua memang harus ada, itulah kehidupan, tak perlu heran menghadapi semua kenyataan yang ada… 🙂

    bagus sekali bund, karyanya… 🙂

    Like

  6. Assalamualaikum…

    Ternyata benar repost, karena aku merasa seperti pernah membacanya.

    Apa kali ini benar2 akan turun kejalanan?

    Like

  7. @eanreana,

    wa alaikumsalam.
    Sayangx aq msh blm seberani itu, lg pula toh BBM udah naik. Seperti biasax, protes rkyt hny spt angin lalu sj.
    *merenung, mewek di pojokan

    Like

  8. Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah Usirlah mereka dengan revolusi Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi Tapi itulah selemah- lemahnya iman perjuangan!

    Puisi negeri para bedebah.

    Like

  9. Assalamualaikum

    Saya Hadir Untuk Menjalin Silaturahmi..Salam Kenal Aja Ya Mba..
    Jujur Saya Membaca Postingan2 Mba Sangat Bagus Dan Menginspirasi Apalagi Untuk Para Pemuda..

    Like

  10. Jalanan kini kering menyisakan fatamorgana . Sementara hujan dan banjir melanda pipi pipi mereka. Kita tak pernah pasrah walau para pendusta menyiksa . Kita masih punya pelindung . Yang Maha Kuasa.

    Like

  11. baca puisi ini jd terkenang pujangga tempo doeloe, taufik ismail, hihi
    ga bs komen soal isi'y, aplg mslh politik n realita negri, ga da abis'y klo d bahas
    kasi jempol aja dach buat puisi satire'y 😀

    Like

Leave a comment