ELEGI BULIR PADI TANPA ISI

“Sudah tak ada yang bisa kita harapkan lagi, Lis. Kita gagal panen tahun ini.”

Darman memandang nelangsa pada hamparan sawah di hadapannya. Daun padi yang mulai muncul buahnya itu mendadak menguning tiba-tiba, membuat bulir padi yang muncul kerdil dan hampa.

Lilis, istri Darman duduk di samping suaminya, mengeluarkan singkong rebus dari rantang plastik yang dibawanya dari rumah. Udara siang itu terasa menyengat pasangan suami istri yang bernaung di bawah keteduhan atap Rumbia di gubuk di tengah sawah itu, hujan seakan-akan enggan lagi mengairi sawah para petani.

” Makan dulu pak, dari tadi pagi perut belum diisi.” Ujar Lilis dengan senyum seraya memberikan sepotong singkong dengan cocolan sambal terasi pada suaminya.

Sudah tiga hari ini Lilis tidak menanak nasi, beras hasil panen tahun lalu sudah lama tandas untuk bayar utang pada tengkulak. Kalaupun ada beras, biasanya Lilis lebih memilih untuk dimakan ke empat anaknya, kasihan jika anak-anak mesti makan singkong. Dan bubur nasi tadi pagi adalah sisa beras terakhir yang jadi sarapan anak-anaknya sebelum berangkat sekolah.

Kegagalan panen tahun ini menjadi pukulan besar bagi warga desa itu, dan meski kemarau telah berlalu masih belum ada geliat kehidupan yang dapat membangkitkan dari keterpurukan. Tak hanya sawah yang bermasalah, ikan-ikan di sungai pun entah pergi kemana.

Darman sedang memanggul beberapa batang singkong ketika ia berpapasan dengan Karta tetangganya. Karta terlihat membawa seperangkat alat setrum ikan, sepertinya ia mulai kembali melakoni profesinya di musim hujan ini.

“Mau nyetrum ke hulu Kar?” Tanya Darman.

“Iya Man, sudah lama gak makan ikan, dan kalau dapat banyak besok bisa dibawa ke pasar.” Ujar Karta sumringah.

“Tapi kemarin aku lihat di hulu sungai baru dipotas si Dirun, tak banyak juga ikannya.” Darman memperingatkan Karta kalau usahanya bisa sia-sia.

“Wah, bisa percuma juga aku kesana.” Karta manggut-manggut. “Sekarang tambah susah ya Man? Padi rusak ikanpun sulit di dapat.” Gumam Karta sambil berbalik pulang.

Darman menghela napas panjang, berat, memandang punggung Karta yang menjauh dengan tas alat setrum yang ada di belakangnya. Ia teringat penyuluhan di kantor kecamatan beberapa tahun lalu saat petugas dari Dinas Pertanian mengatakan bahwa mencari ikan menggunakan alat setrum dan potas bisa merusak keseimbangan ekosistem air dan membuat ikan jadi sulit berkembang biak karena telur-telurnya jadi prematur atau mati.

Tapi Darman dan sebagian besar warga yang mencari ikan dengan setrum tak menyadari bahwa itu juga yang menyebabkan sawah gagal panen, karena efek setrum dan penggunaan potas yang terus menerus telah mengubah kadar PH air dan tanah sehingga tanaman padi tak lagi bisa tumbuh dan berbuah dengan normal lagi.

Mendadak hujan turun di tengah hari bolong siang itu. Lilis bergegas mengambili jemuran cucian di depan rumahnya ketika di saat yang bersamaan terdengar suara gaduh dari tikungan jalan. Lilis melihat itu adalah suaminya dan beberapa orang warga, juga pak Rasidi si tengkulak desa yang nampaknya sedang murka.

“Dasar pencuri!!!” Hardik pak Rasidi sembari mendorong Darman dan tersungkur tepat di hadapan istrinya.

“Ada apa ini pak?” Lilis gelagapan dan bergegas merangkul suaminya yang mulai ditendang dan dipukuli warga. Seluruh badannya basah kuyup dan berlumpur. Sudut bibirnya mengalirkan darah segar.

“Aku tidak mencuri!!” teriak Darman, sejenak menghentikan orang-orang yang kalap. “Singkong ini memang ku tanam sendiri di sawah pak Gani, jadi aku mengambilnya.”

Pak Gani adalah pemilik sawah yang digarap Darman setiap tahunnya, tapi pak Gani tidak mematok jatah padi yang diterimanya, dengan digarap artinya tanah itu terawat dan tak rimbun ditanami tumbuhan liar. Pak Gani cukup bersyukur akan hal itu.

“Iya memang!” seru Rasidi, “Tapi tumbuhnya dekat patok batas tanahku, dan akar umbinya menjalar ke kebunku, itu artinya kau mencuri di sawahku!!”

Tanpa ampun, Darman, pria beranak empat itu menjadi bulan-bulanan warga yang merupakan anak buah Rasidi, tengkulak yang terkenal pelitnya itu. Rupanya kegagalan panen tahun ini membuat pria parlente berkumis melintir ala menir Belanda itu benar-benar sensitif dan kehilangan perikemanusiaannya.

Tak cukup, Darman juga diadukan ke kantor polisi dan harus disidang dengan tuduhan sebagai pencuri singkong.

19 thoughts on “ELEGI BULIR PADI TANPA ISI

  1. Awalnya aku berpikir, makna dari ending ceritanya adalah "segala kerusakan di dunia ini, tidak lain adalah akibat dari ulah manusia."

    ehh… ternyata meleset… Twist berbalik, dan keadilan sulit di dapat oleh rakyat kecil.

    Jadi ingat beberapa wktu yg lalu, gara² mencuri singkong, seorang nenek di sidangkan di pengadilan.

    Like

  2. @Djacka Artub,

    xixi. . . Saking muterx ampe mumet sndiri.

    Btw emang dr kejadian smcm itu inspirasix.

    Like

  3. wah polemik yg sungguh tragis.

    Manusia ktk brhati malaikat baiknya lbh dr malaikat nmun ktk iblis menguasai, bhkn raja iblis pun ketakutan.

    Apa jdnya aku nanti saat jd org kaya? 😥

    Like

  4. masyarakat kita itu aneh, maling malah dibelain (inget kasus sendal) lantaran pelakunya orang kecil atau sebaliknya. Hukum memang harus ditegakkan, dan yang salah harus dihukum, gak peduli mau gembel atau orang berdasi.
    Terkait cerita diatas, belum jelas apakah kang Darman bersalah atau gk.

    Like

  5. Hukum memang harus ditegakkan, tapi kalau masalah seperti ini mungkin cukup di maafkan.. Cerita yg bagus mbk, sepertinya pak Rasidi ini yg angkuh ya mbk..

    Like

  6. Ketika membaca cerita, jadi muncul imajinasi di kepala, kaya ada visual nya gitu.. Heheh kok bisa ya..
    ternyata setelah di baca jadi ada visualisasi di otak ya..

    Like

  7. @ari wibowo,

    xixi. . . Mungkin deskripsi latar dan tokohx bagus kali yak?
    *nyengir kepedean, hohoho. . .

    Like

  8. Harta yang paling berkuasa sejak jaman penjajahan sampe jaman sekarang,,, makanya jangan mau jadi orang kaya sebelum hati dan pikiran kalian di kayakan dengan kerendahan hati…

    Like

  9. Susah juga, pak Rasidi tampaknya sangat berkuasa. Dan warga yang lain kemana tuh?

    Coba ada pak Karta, pasti disetrum tuh orang. Apalagi sama si Dirun….

    Like

Leave a comment