“Seriously, aku selalu berpendapat kalau kekecean istri adalah salah satu lambang kesuksesan pria. Penjelasannya sederhana saja. Seringkali kesuksesan seorang suami bisa dinilai dari harga tas, sepatu dan pakaian mahal. Dan jangan lupa, hanya pria sukses yang mampu membiayai perawatan tubuh istrinya agar kinclong selalu di klinik kecantikan yang sekali datang biayanya sama dengan harga BB entry level.
Sayangnya, kadang pria-pria ini justru nggak punya waktu melihat istri-istri mereka yang tampil semakin menawan karena terlalu sibuk mengejar uang dan kekuasaan. Mereka nggak bisa melihat hasil kesuksesan mereka sendiri. Ironis.
(bab 1: Shopping is the Best Aspirin)Normalkah pernikahanku? Buat apa kita menikah kalau bertemu saja susah begini? Buat apa kita menikah kalau tetap merasa sendirian dan kesepian? Ah ternyata, pernikahan jauh sekali dari bayanganku sebelumnya.
(bab 2: Loneliness)Rafa, i wish u could drink your words and realize how bitter they taste!
(bab 4: Perdebatan)
Itulah beberapa penggalan kalimat yang berasa ‘jleb’ banget di novel ini.
Jika ada pertanyaan mengenai pengorbanan dalam kehidupan pernikahan, maka saya dengan segala sindrom sensitifitas gender yang saya derita dan kecenderungan naluri keperempuanan saya yang amat sering terusik oleh otoritas lelaki akan menjawab; wanitalah yang paling banyak (dituntut) berkorban. Kenapa?
Hm. . . Jangan-jangan membahas ini membuat saya dikira feminis ekstrim yang membenci lembaga pernikahan. Gak gitu juga sebenarnya. Saya hanya melihat fakta, bahwa perempuan adalah satu-satunya makhluk yang paling legowo untuk hidup demi kepentingan orang lain, terutama ketika mereka menjadi seorang istri dan kemudian mengandung anak manusia dalam rahimnya. Perempuan juga cenderung lebih cepat menyesuaikan diri atas perubahan yang terjadi. Sementara lelaki dengan dominannya sifat egois menjadi relatif lebih agak kaget dalam menerima perubahan-perubahan dalam pernikahan, terlebih untuk hal-hal yang sedikit kurang sesuai dengan rencana semisal kehamilan yang terlalu cepat atau malah terlalu lambat terjadi dan perubahan emosional istri karena faktor hormonal. Beberapa malah ada yang tak bisa berubah, sama sekali.
The Mariage Roller Coaster karya Nurilla Iryani
(pic: http://www.goodreads.com)
Ribet yah, sebenarnya mau nyari bacaan yang ringan dan menghibur, maka sayapun mencoba ke novel bergenre chicklit ini. Eh ternyata saya terjebak pada alur brutal roller coaster yang ternyata bernama pernikahan. Iya, kisah ini memang diceritakan dengan ringan dan santai, tapi ternyata menyimpan konflik yang rumit dan berat. Terlebih ketika saya yang membacanya telah berada belasan tahun dalam dunia pernikahan. So, saya tahu banget bagaimana rasanya diguncang-guncang duapuluhempat jam sehari dalam roller coaster itu, sampai kepayang dibuatnya. Hahaha. . .
Adalah Rafa dan Audi, pasangan muda mapan yang menikah dan hidup di kota. Menjalani kehidupan sebagai suami istri yang berkarier disamping juga berrumah tangga. Mereka nampaknya sempurna dan ideal untuk ukuran pasangan di dunia modern. Mandiri, tinggal di apartemen dan sepakat menunda kehamilan. Sampai karena beratnya tekanan pekerjaan membuat mereka mulai kurang komunikasi, puncaknya ketika karier Audi menanjak dan bertemu mantan kekasih di masa lalu yang menjadi kliennya, maka konflik dan pertengkaran dengan Rafa menjadi tak terhindarkan. Ditambah lagi ketika Audi hamil, kehamilan yang tidak direncanakan. Membuat Rafa dengan jahatnya mempertanyakan apa benar itu anaknya. Duh. . .
Sungguh terlalu, meski akhirnya Rafa meminta maaf atas sikapnya dan sangat bahagia atas kehamilan Audi, toh hal itu tak urung membuat Audi tetap harus menuruti kemauan suaminya. Ia berhenti bekerja dan mengorbankan karier yang selama ini amat dibanggakannya justru di saat ia baru mendapatkan promosi. Karena stres dan kelelahan Audi nyaris kehilangan bayinya ketika mengalami flek sepulang kerja.
Seakan2 semua yang ada dalam pernikahan hanyalah guncangan disaster saja. Seakan2 tak ada hal dalam kehidupan yang memenuhi harapan. Padahal sejatinya dalam hidup memang tak ada yg dapat memuaskan keinginan manusia karena hal-hal menyenangkan tak pernah terlepas dari apa2 yang tidak kita miliki. Yang jomblo kepengen punya pasangan, yang lama pacaran pada bosan pengen bubaran. Yang menikah kadang iri dengan yang lajang (saya bgt ni), yang di rumah mau kerja di luar. Yang udah diporsir kerjaan ingin vakum. Dan lain sebagainya.
Makanya ada pepatah: Pasangan sempurna nan ideal di dunia ini hanya ada dua, yang pertama belum dilahirkan, yang ke dua sudah mati.
Mestinya ikuti saja roller coaster kehidupan ini, duduk dan kencangkan gesper keselamatan, sesekali histeria tak mengapa, nikmati dan yang terpenting syukuri!!
Hm. . . Bisa??